![]() |
huruf A inisial Alan ;) |
Oleh: Komaruddin Hidayat
DALAM frase Jawa dikenal istilah sawang sinawang yang dalam bahasa
psikologi disebut persepsi. Kita mengenal dan menilai orang di sekitar
kita mungkin sekali lebih banyak berdasarkan persepsi, dimulai dengan
melihat dan mendengar apa kata orang. Terlebih sekarang berita dan gosip
lewat medsos (media sosial) telah menjadi konsumsi sehari-hari,
sehingga apa yang kita katakan dan nilai tentang orang lain tak lebih
hanya persepsi.
Orang saling memandang, menduga-duga, lalu disimpulkan sendiri.
Seterusnya disebar lewat medsos semacam Twitter, Facebook atau Whatsapp.
Mungkin sekali asupan pikiran lewat medsos itu tak ubahnya junkfood,
makanan yang tak lagi bergizi meskipun bergairah melahapnya serta murah
harganya. Jika disebut murah sesungguhnya juga tidak karena kita
membayar pulsa dan membuang waktu hanya untuk bergosip.
Saya mengamati beberapa orang yang ikut WAG, Whatsapp group, lebih dari
lima. Setiap hari pesan yang masuk bisa di atas 500. Bayangkan saja,
berapa lama waktu untuk membaca dan merespons, belum lagi mesti berpikir
dan menuliskannya dengan jari. Menulis pesan pendek lewat medsos
biasanya dilakukan terburu-buru, sambil lalu, dan tidak mendalam. Tidak
juga terstruktur dengan baik logika dan bahasanya.
Jika hal ini menjadi kebiasaan yang mentradisi, sangat mungkin membuat
otak kita tidak terlatih berpikir dan menulis secara sistematis,
reflektif dan mendalam. Dan ini kurang bagus dampaknya bagi remaja kita.
Mereka juga tidak terbiasa membaca novel yang tebal-tebal. Padahal
novel yang bagus sangat membantu untuk mengembangkan imajinasi dan
menambah wawasan hidup. Juga memperkaya khazanah berbahasa yang indah.
Sebagian besar isi otak dan rekaman emosi kita jangan-jangan produk
persepsi, bukan hasil informasi ilmiah ataupun informasi yang sahih dan
valid. Jika betul demikian keadaannya, sungguh disayangkan. Kalau kita
beli flashdisk, tentu yang hendak kita rekam dan simpan adalah memori
yang baik-baik dan berguna. Ketika kita membeli lemari pakaian, yang
kita simpan pakaian yang bersih dan ditata rapi. Apa yang terjadi jika
pakaian kotor dan sampah yang kita simpan? Pasti bau dan tidak sehat.
Ungkapan sawang sinawang dalam bahasa Jawa memiliki nilai positif,
ketika didasari sikap bersangka baik pada orang lain. Bahwa kita tidak
baik cepat-cepat menilai dan menghakimi orang lain hanya berdasar kesan dan
penglihatan. Hanya berdasar kata orang. Tetapi kita juga tidak
dibenarkan menyelidiki serba ingin tahu kehidupan pribadi seseorang.
Oleh karena itu, bersangka baik lebih didahulukan dan diutamakan
ketimbang bersangka buruk. Lebih dari itu, jangan mudah silau dan iri
melihat orang lain yang kelihatannya mewah dan gemerlap hidupnya. Urip
iku sawang sinawang. Hidup itu hanya saling memandang dan menduga-duga.
Di balik gemerlap hidup seseorang, pasti menyimpan problem yang
disembunyikan, karena tak ada kehidupan tanpa problem.
Sebaliknya, kita seringkali terkecoh dengan penampilan seseorang yang
kelihatannya miskin atau sederhana, ternyata dia memiliki kekayaan
materi berlimpah atau kebahagiaan hidup yang tidak kita miliki. Oleh
karenanya, mengingat hidup ini saling sawang sinawang, maka ojo gumunan.
Jangan mudah kagum terhadap penampilan seseorang. Jangan mudah silau
lalu bersikap minder atau kecil hati. Jangan mudah kecil hati.
Ojo kagetan. Jangan mudah kaget melihat dan bertemu seseorang yang
penampilan awalnya memukau. Melihat rumahnya mewah bak istana. Kita
tidak tahu persis kehidupan sejatinya di balik itu semua. Ojo dumeh.
Jangan bersikap mentang-mentang. Sombong dan tinggi hati. Roda kehidupan
ini senantiasa berputar. Ada kalanya di atas, lain kesempatan di bawah.
Makanya bersikaplah wajar. Urip sak madyo. Hidup tidak banyak tingkah,
agar tidak mengundang kesan dan komentar yang Anda sendiri tidak senang
jika mendengarnya.
Demikianlah, tulisan singkat ini muncul terstimulasi oleh lingkungan
sosial yang seringkali asyik bergunjing membicarakan pesan singkat,
kutipan dan gambar yang beredar di medsos. Di antara pesan-pesan dan
kutipan-kutipan itu banyak pula yang bagus, berisi kutipan ayat-ayat
suci, kalimat bijak dan gambar yang mengundang aha!. Namun jangan-jangan
semua itu easy come, easy go. Tak sempat dicerna dan direkam mendalam
dalam hati dan pikiran, bagaikan angin lalu atau air lewat. Yang tersisa
hanya sedikit.
Koran SINDO, 15 Juli 2016
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar